devotelabels.id – Kalau ngomongin dunia fashion, pasti nggak bisa lepas dari yang namanya buruh jahit. Mereka inilah pahlawan tanpa tanda jasa di balik outfit kece yang sering Sahabat Devote pakai. Tapi pernah nggak sih kepikiran, “Sebenarnya berapa sih upah buruh jahit di Semarang?” Nah, Devote Labels ngerangkum soal UMR (Upah Minimum Regional) Semarang dan kondisi realita di lapangan, biar Sahabat Devote lebih melek soal industri ini. Soalnya, sering kali angka di aturan dan kenyataan nggak selalu sejalan.
UMR Semarang 2025
Tiap tahun, pemerintah biasanya ngatur UMR buat tiap daerah, termasuk Semarang. UMR ini jadi acuan dasar buat perusahaan biar nggak asal ngasih gaji ke karyawan.
Buat tahun 2025, UMR Kota Semarang ditetapkan sekitar Rp3.411.000 per bulan. Jadi secara teori, buruh yang kerja full-time minimalnya dapet segitu.
Realita Buruh Jahit Di Lapangan
Sayangnya, nggak semua buruh jahit bisa menikmati angka UMR itu. Di lapangan, terutama di konveksi rumahan atau pabrik kecil, gajinya sering jauh lebih rendah. Banyak yang masih sistem borongan, artinya gaji dihitung dari jumlah baju yang mereka selesaikan.
Misalnya, jahit satu potong baju bisa dibayar Rp5.000 – Rp10.000. Kalau sehari cuma kuat ngerjain 15 potong, otomatis penghasilan harian sekitar Rp75.000 – Rp150.000. Kalau dihitung sebulan, ya bisa jauh di bawah UMR.
Perbandingan UMR vs Gaji Buruh Jahit
Biar makin gampang kebayang, cek tabel perbandingan ini:
| Keterangan | UMR Kota Semarang 2025 | Rata-rata Gaji Buruh Jahit (Lapangan) |
|---|---|---|
| Sistem kerja | Bulanan (formal) | Borongan / Harian |
| Nominal per bulan | ± Rp3.411.000 | Rp1.800.000 – Rp2.500.000 |
| Jam kerja | 8 jam/hari | Bisa 8–12 jam/hari |
| Jaminan (BPJS, THR, dsb) | Ada (kalau sesuai aturan) | Jarang / bahkan nggak ada |
| Kepastian gaji | Stabil | Nggak menentu, tergantung orderan |
Dari tabel ini kelihatan jelas, masih ada gap lumayan besar antara aturan pemerintah sama realita di lapangan.
Kenapa Gaji Buruh Jahit Di Semarang Sering Nggak Sesuai UMR?
Berikut ini adalah beberapa alasan utama kenapa gaji buruh jahit di Semarang sering nggak sesuai UMR:
Banyak Usaha Skala Kecil & Rumahan
Di Semarang, industri jahit nggak selalu berbentuk pabrik gede. Justru lebih banyak konveksi rumahan atau usaha kecil yang modalnya terbatas. Karena budget tipis, pemilik usaha cenderung kasih gaji di bawah UMR supaya biaya produksi tetap rendah dan usaha bisa jalan. Alhasil, buruh jahit sering harus terima gaji seadanya demi tetap punya pekerjaan.
Sistem Borongan Lebih Dominan
Banyak buruh jahit di Semarang digaji pakai sistem borongan, bukan bulanan. Jadi, upah mereka dihitung per potong pakaian yang berhasil dijahit. Sekilas kelihatan fleksibel, tapi kenyataannya bikin gaji nggak menentu. Kalau orderan lagi rame, penghasilan bisa lumayan. Tapi kalau sepi, hasilnya bisa jauh di bawah UMR. Sistem ini juga bikin buruh dipaksa kerja cepat demi ngejar banyak potong, tapi tetap belum tentu nyampe angka UMR.
Orderan Produksi Nggak Stabil
Industri fashion itu musiman. Ada momen-momen tertentu, misalnya menjelang Lebaran atau tahun ajaran baru, orderan bisa membludak. Tapi di luar musim itu, pesanan bisa turun drastis. Karena nggak ada orderan tetap, pemilik usaha juga ragu ngasih gaji tetap sesuai UMR. Dampaknya, buruh jahit harus siap dengan pendapatan yang naik-turun, bahkan kadang jauh dari standar upah minimum.
Kurangnya Pengawasan Pemerintah
Meski pemerintah sudah menetapkan UMR, kenyataannya pengawasan di lapangan masih kurang maksimal. Terutama di usaha kecil yang nggak tercatat resmi, banyak yang luput dari kontrol dinas tenaga kerja. Jadi, buruh sering nggak punya wadah buat ngeluh kalau digaji di bawah standar. Karena lemahnya pengawasan ini, banyak pemilik usaha merasa aman-aman aja meski ngasih gaji lebih rendah dari aturan.
Posisi Buruh Yang Serba Butuh Kerja
Banyak buruh jahit yang akhirnya nerima aja upah di bawah UMR karena mereka nggak punya banyak pilihan. Persaingan cari kerja ketat, pendidikan rata-rata juga terbatas, jadi skill menjahit adalah satu-satunya modal. Kondisi ini bikin buruh ada di posisi yang lemah: kalau nolak gaji rendah, bisa diganti orang lain. Jadi meski sadar upahnya nggak sesuai aturan, mereka terpaksa bertahan demi tetap punya penghasilan buat hidup.
Dampak Buat Buruh Jahit
Kerja di dunia jahit itu nggak bisa dibilang gampang. Harus teliti, sabar, dan kadang dikejar deadline gila-gilaan. Tapi kalau gajinya masih jauh di bawah UMR, otomatis banyak dampaknya:
Kesejahteraan Hidup Rendah
Dengan gaji di bawah UMR, buruh jahit sering kesulitan mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari. Buat bayar kos, makan, transportasi, apalagi kalau punya anak, jadi terasa berat banget. Kondisi ini bikin mereka sulit buat punya tabungan atau hidup lebih layak, dan akhirnya hanya bisa fokus bertahan dari bulan ke bulan.
Jam Kerja Jadi Lebih Panjang
Karena sistem gajinya banyak yang borongan, buruh jahit terpaksa kerja lebih lama demi dapet penghasilan yang lumayan. Ada yang kerja 10 sampai 12 jam sehari, bahkan kadang lembur sampai malam. Sayangnya, meski jam kerja panjang, gajinya tetap nggak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan.
Nggak Ada Jaminan Sosial & Perlindungan Kerja
Buruh di pabrik besar biasanya dapet BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan THR. Tapi buruh jahit di konveksi kecil atau rumahan sering banget nggak dapet itu semua. Kalau sakit, mereka harus nanggung biaya sendiri. Kalau tiba-tiba berhenti kerja, ya nggak ada pesangon. Jadi posisinya rawan banget tanpa perlindungan.
Stress & Kesehatan Terganggu
Kerja dikejar target dengan bayaran rendah bikin banyak buruh jahit rentan stres. Tekanan mental ditambah kerja duduk lama di depan mesin jahit bikin masalah kesehatan fisik juga muncul, seperti nyeri punggung, mata cepat lelah, atau tangan kaku. Jadi, mereka bukan cuma capek secara finansial, tapi juga fisik dan mental.
Sulit Naik Kelas Atau Berkembang
Dengan gaji minim, buruh jahit susah banget buat ningkatin skill atau ambil peluang usaha sendiri. Hampir semua penghasilan habis buat kebutuhan sehari-hari. Jadi, mereka terjebak dalam lingkaran: kerja keras, gaji kecil, nggak ada kesempatan buat maju. Padahal skill menjahit sebenarnya bisa jadi peluang besar kalau punya modal.
Harapan Ke Depan
Meski kondisi masih belum ideal, ada beberapa hal yang bisa jadi harapan:
Pengawasan Pemerintah Yang Lebih Ketat
Harapan terbesar tentu datang dari peran pemerintah. Bukan cuma bikin aturan soal UMR, tapi juga turun langsung ngecek kondisi di lapangan, termasuk usaha kecil dan konveksi rumahan. Kalau ada pelanggaran, harus ada tindakan tegas biar pengusaha nggak seenaknya ngasih upah rendah. Dengan begitu, hak buruh bisa lebih terjamin.
Kesadaran Pemilik Usaha Untuk Lebih Fair
Buruh jahit adalah aset utama buat industri fashion. Harapannya, pemilik usaha—baik skala besar maupun kecil—mulai sadar kalau mereka perlu menghargai tenaga buruh dengan memberikan upah yang layak. Kalau buruh sejahtera, hasil kerja juga lebih maksimal, produktivitas naik, dan bisnis bisa lebih berkembang. Jadi ini bukan cuma soal biaya, tapi juga investasi.
Peningkatan Skill & Pelatihan Untuk Buruh
Harapan lain adalah adanya pelatihan gratis atau murah buat buruh jahit, entah dari pemerintah, komunitas, atau LSM. Dengan skill yang lebih tinggi, mereka bisa dapet bayaran lebih tinggi juga. Bahkan, kalau punya modal skill plus pengalaman, buruh bisa beralih jadi pelaku usaha mandiri yang lebih bebas ngatur pendapatan.
@devotelabels label woven dari indige, menurut kalian gimana? . . . === 🗒Informasi Pembuatan Label Baju 🖼 Gallery : instagram.com/devote.labels ☎ WA lengkap : www.wovendamask.co.id/contact 🌐 Info lengkap : devotelabels.id ☎ Wa Cs (on jam 7 sampai 5 sore) === “#LabelWovenTolikara #LabelWovenSarmi #LabelWovenKeerom LabelWovenWaropen”
Kesimpulan
Itulah beberapa penjelasan dari kami mengenai upah buruh jahit di Semarang. Apabila saudara itu masih belum paham, maka saudara bisa langsung menghubungi kami ya di wovendamask.co.id.

.png?w=1400&resize=1400,800&ssl=1)